Beranda | Artikel
Mendalami Nama Allah Ash-Shamad dalam Surat Al-Ikhlas
Senin, 22 Juni 2020

Apa arti nama Allah Ash-Shamad dalam surat Al-Ikhlas?

Ash-Shamad berasal dari kata shamada yang berarti menuju kepada atau menyengaja.

Dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim karya Ibnu Katsir disebutkan beberapa perkataan ahli tafsir mengenai nama Allah Ash-Shamad yakni sebagai berikut.

Dari ‘Ikrimah, dari Ibnu Abbas mengatakan bahwa maksud Ash-Shamad adalah,

الَّذِي يَصْمُدُ الخَلَائِقُ إِلَيْهِ فِي حَوَائِجِهِمْ وَمَسَائِلِهِمْ

“Seluruh makhluk bersandar/bergantung kepada-Nya dalam segala kebutuhan maupun permasalahan.”

Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas mengatakan mengenai, “Allah itu Ash-Shamad, Dia-lah As-Sayyid (Pemimpin) yang kekuasaan-Nya sempurna, Dia-lah Asy-Syarif (Maha Mulia) yang kemuliaan-Nya sempurna, Dia-lah Al-‘Azhim (Maha Agung) yang keagungan-Nya sempurna, Dia-lah Al-Halim (Maha Pemurah) yang kemurahan-Nya itu sempurna, Dia-lah Al-‘Alim (Maha Mengetahui) yang ilmu-Nya itu sempurna, Dia-lah Al-Hakim (Maha Bijaksana) yang sempurna dalam hikmah (atau hukum-Nya). Allah-lah–Yang Maha Suci–yang Maha Sempurna dalam segala kemuliaan dan kekuasaan. Sifat-Nya ini tidak pantas kecuali bagi-Nya, tidak ada yang setara dengan-Nya, tidak ada yang semisal dengan-Nya. Maha Suci Allah Yang Maha Esa dan Maha Kuasa.”

Al-A’masy mengatakan dari Syaqiq dari Abu Wa’il bahwa Ash-Shamad bermakna,

السَّيِّدُ الذِي قَدِ انْتَهَى سُؤُدُهُ

“Pemimpin yang paling tinggi kekuasaan-Nya”. Begitu juga diriwayatkan dari ’Ashim dari Abu Wa’il dari Ibnu Mas’ud semacam itu.

Malik mengatakan dari Zaid bin Aslam, “Ash-Shamad adalah As-Sayyid (Pemimpin).”

Al-Hasan dan Qatadah mengatakan bahwa Ash-Shamad adalah,

البَاقِي بَعْدَ خَلْقِهِ

“Yang Maha Kekal setelah makhluk-Nya (binasa).”

Al-Hasan juga mengatakan bahwa Ash-Shamad adalah,

الحَيُّ القَيُّوْمُ الذِي لاَ زَوَالَ لَهُ

“Yang Maha Hidup dan Qoyyum (mengurusi dirinya dan makhluk-Nya) dan tidak mungkin binasa.”

‘Ikrimah mengatakan bahwa Ash-Shamad adalah yang tidak mengeluarkan sesuatu pun dari-Nya (semisal anak) dan tidak makan.

Ar-Rabi’ bin Anas mengatakan bahwa Ash-Shamad adalah,

الَّذِي لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ

“Tidak beranak dan tidak diperanakkan.” Beliau menafsirkan ayat ini dengan ayat sesudahnya dan ini tafsiran yang sangat bagus.

Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Sa’id bin Al-Musayyib, Mujahid, Abdullah bin Buraidah, ’Ikrimah, Sa’id bin Jubair, ’Atho’ bin Abi Robbah, ’Athiyyah Al-’Awfiy, Adh-Dhohak dan As-Sudi mengatakan bahwa Ash-Shamad adalah,

لاَ جَوْفَ لَهُ

“Tidak memiliki rongga (perut).”

Al-Hafizh Abul Qasim Ath-Thabrani dalam kitab Sunnahnya–setelah menyebut berbagai pendapat di atas tentang tafsir Ash-Shamad–berkata, “Semua makna ini adalah sahih (benar). Sifat tersebut merupakan sifat Rabb kita ’Azza wa Jalla. Dia-lah tempat bersandar dan bergantung dalam segala kebutuhan. Dia-lah yang paling tinggi kekuasaan-Nya. Dia-lah Ash-Shamad tidak ada yang berasal dari-Nya. Allah tidak butuh makan dan minum. Dia tetap kekal setelah para makhluk-Nya binasa. Baihaqi juga menjelaskan yang demikian.” (Diringkas dari Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7:698-699, karya Ibnu Katsir rahimahullah).

Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata, “Yang terkenal dalam ucapan orang Arab pemutlakan nama Ash-Shamad bagi tuan yang agung dan atas sesuatu yang tidak berongga. Maka Allah adalah tuan yang merupakan tempat manusia untuk bersandar dan berlindung ketika mengalami musibah dan kesusahan. Dialah yang tersucikan dari sifat-sifat makhluk, seperti makan dan selainnya. Maha Suci Allah dari semua hal itu.” (Adhwa’ Al-Bayan, 2:187; dinukil dari Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hlm. 131-132)

 

ANTARA AL-AHAD DAN ASH-SHAMAD

Al-Ahad itu menunjukkan wujudnya Allah yang khusus yang tidak ada yang berserikat dengan Allah dalam hal ini.

Ash-Shamad menunjukkan sifat kesempurnaan yang menunjukkan paling tinggi kekuasaan, semua berasal dari-Nya dan kembali kepada-Nya. (An–Nahju Al-Asma’ fi Syarh Asma’ Allah Al-Husna, hlm. 383)

Baca Juga: Mendalami Nama Allah Al-Ahad dalam Surat Al-Ikhlas

KITA SEMUA BERGANTUNG KEPADA ALLAH

Syaikh ‘Abdurrazaq bin ‘Abdul Muhsin berkata, “Apabila seorang hamba telah mengetahui bahwa Allah tersifati dengan kesempurnaan dan kemuliaan, dan bahwasanya Allah Ta’ala tidak ada sesuatu pun yang berada di atas-Nya, tidak ada sesuatu pun yang dapat melemahkan-Nya, dan Allah adalah tempat bergantung dan berlindung semua makhluk, tidak ada tempat berlindung dan keselamatan, kecuali kepada-Nya, Dialah satu-satunya tempat manusia berlari, Dialah satu-satunya tempat bergantung semua makhluk dalam meminta kebutuhan dan keperluan mereka, maka wajib untuk dia tidak berlindung, kecuali kepada Allah saja, dan tidak meminta kebutuhan kecuali kepada-Nya, juga tidak bertawakal kecuali hanya kepada-Nya.

أَمَّن يُجِيبُ ٱلْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ ٱلسُّوٓءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَآءَ ٱلْأَرْضِ ۗ أَءِلَٰهٌ مَّعَ ٱللَّهِ ۚ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ

Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati-(Nya).” (QS. An-Naml: 62).” (Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hlm. 132)

Semoga bermanfaat.

 

Referensi:

  1. An–Nahju Al-Asma’ fi Syarh Asma’ Allah Al-Husna. Cetakan keenam, Tahun 1436 H. Dr. Muhammad Al-Hamud An-Najdi. Penerbit Maktabah Al-Imam Adz-Dzahabi.
  2. Fiqh Al-Asma’ Al-Husna. Cetakan kedua, Tahun 1436 H. Syaikh ‘Abdurrazaq bin ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr. Penerbit Darul ‘Amiyah.
  3. Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, Tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Tahqiq: Prof. Dr. Hikmat bin Basyir bin Yasin. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.

 


 

Disusun di Darush Sholihin, Senin sore, 1 Dzulqa’dah 1441 H, 22 Juni 2020

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumasyho.Com


Artikel asli: https://rumaysho.com/24992-mendalami-nama-allah-ash-shamad-dalam-surat-al-ikhlas.html